A. PENDAHULUAN
Dalam memasuki perkembangan dunia ekonomi yang semakin luas saat ini, setiap perusahaan yang tumbuh dan berkembang memerlukan suatu pengendalian intern persediaan yang baik dalam mendukung dan memperlancar kegiatannya produksinya. Dalam mewujudkannya dibutuhkan berbagai macam faktor pendukung baik langsung maupun tidak langsung dalam suatu proses kegiatan perusahaan.
Tujuan utama perusahaan adalah memperoleh laba yang optimal sesuai dengan pertumbuhan perusahaan dalam jangka panjang, sehingga dapat menjamin kelangsungan hidup perusahaan. Banyak hal yang telah direncanakan tetapi dalam pelaksanaannya tidak dapat berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan.
Disamping itu persaingan yang terjadi didunia usaha pada saat ini semakin ketat, sehingga menyebabkan masalah-masalah yang harus dihadapi oleh perusahaan semakin banyak dan semakin komplek. Salah satu permasalahan yang sering dihadapi oleh perusahaan terutama perusahaan pengolahan yang besar adalah mengenai pengolahan persediaan bahan baku yang baik. Karena persediaan merupakan asset perusahaan yang cukup besar, sehingga apabila dalam penanganannya tidak dilakukan dengan baik, maka akan menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi perusahaan sementara perusahaan sudah cukup besar didalam mensiasati keadaan perekonomian yang serba sulit ini agar dapat tetap bertahan hidup.
Perusahaan harus menyadari perlunya manajemen yang baik dengan menerapkan pengendalian intern yang memadai agar tercapai pengelolaan yang lebih efektif dalam kegiatan perusahaan. Pengendalian intern yang memadai tidak menjamin bahwa semua penyimpangan atas tindakan yang merugikan perusahaan dapat dihindarkan sama sekali, tetapi kemungkinan-kemungkinan tersebut diusahakan dapat seminimal mungkin.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 55 ayat (4) dan Pasal 56 ayat (4), yang kemudian diatur dalam Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006, tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah, Menteri/Pimpinan Lembaga, Gubernur/Bupati/Walikota dan Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang dalam menyampaikan pertanggungjawaban berupa laporan keuangan, harus disertai dengan pernyataan tanggung jawab. Pernyataan tanggung jawab tersebut selain harus menyatakan bahwa laporan keuangan itu isinya telah menyajikan informasi pelaksanaan anggaran dan posisi keuangan secara layak sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan, juga harus menyatakan bahwa laporan keuangan telah disusun berdasarkan sistem pengendalian intern yang memadai.
Pernyataan tanggung jawab bahwa laporan keuangan telah disusun berdasarkan sistem pengendalian intern yang memadai, berarti pemberi pernyataan (Menteri/Pimpinan Lembaga, Gubernur/Bupati/Walikota dan Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang) memberikan keyakinan yang memadai kepada pengguna laporan keuangan tentang keandalan pelaporan keuangan, efektivitas dan efisiensi operasi, dan kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku.
Pernyatan tersebut memiliki makna dan tanggung jawab yang besar bagi pemberi pernyataan, terutama dalam hubungannya mendukung upaya pemerintah memberantas berbagai bentuk korupsi. Betulkah ada keterkaitan antara pengendalian intern dengan korupsi?
B. PENGENDALIAN INTERN ATAU PENGENDALIAN MANAJEMEN
Dalam sektor swasta, pengendalian intern (internal control) pada awalnya lebih menekankan kepada pengendalian akuntansi keuangan, untuk memberikan keyakinan yang memadai tentang keandalan pelaporan keuangan.
Dalam sektor publik, sistem pengendalian itu diperlukan tidak hanya untuk pengendalian dalam akuntansi keuangan, tetapi juga untuk memberikan jaminan dilaksanakannya strategi organisasi secara efektif dan efisien sehingga tujuan organisasi dapat dicapai. Oleh karena itu dalam sektor publik, sistem pengendalian dalam suatu organisasi lebih dikenal dengan pengendalian manajemen (management control).
Menurut General Accounting Office (GAO) dalam “Comprehensive Audit Manual” (seperti dikutip Sawyer, 1988:100) pengendalian manajemen adalah beberapa cara atau alat yang digunakan oleh manajemen dalam melaksanakan fungsi pengendalian dalam mencapai tujuan entitas, yaitu
(1) organisasi,
(2) kebijakan-kebijakan (policies),
(3) prosedur-prosedur,
(4) pegawai,
(5) akuntansi,
(6) anggaran,
(7) pelaporan, dan
(8) review intern (internal review).
Pengendalian manajemen menurut Mardiasmo (2004:45) adalah untuk memberikan jaminan dilaksanakannya strategi organisasi secara efektif dan efisien sehingga tujuan organisasi dapat dicapai. Pengendalian manajemen meliputi beberapa aktivitas, yaitu:
(1) perencanaan,
(2) koordinasi antar berbagai bagian dalam organisasi,
(3) komunikasi informasi,
(4) pengambilan keputusan,
(5) memotivasi orang-orang dalam organisasi agar berprilaku sesuai dengan
tujuan organisasi,
(6) pengendalian, dan
(7) penilaian kinerja
Dalam kaitannya dengan pengendalian manajemen, Badan Pemeriksa Keuangan (1995) menyatakan sebagai berikut: Pengendalian manajemen, dalam arti yang paling luas, meliputi struktur organisasi, metode, dan prosedur yang digunakan oleh manajemen untuk memberikan jaminan bahwa tujuannya dapat dicapai.
Pengendalian manajemen mencakup proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian operasi program. Pengendalian manajemen tersebut meliputi sistem pengukuran, pelaporan, dan pemantauan kinerja program.
Suatu audit atas laporan keuangan perusahaan akan mendasarkan kepada hasil evaluasi pengendalian intern. Didorong oleh terjadinya berbagai kegagalan audit pada perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat terutama yang sudah go public, maka pengendalian intern dalam sektor swasta yang semula menekankan kepada pengendalian akuntansi keuangan, kemudian berkembang ke arah pengertian pengendalian intern yang lebih luas.
Istilah lain yang dipersamakan dengan pengendalian manajemen adalah pengendalian intern, yaitu “seluruh kebijakan, prosedur dan praktik akuntansi yang dibuat oleh manajemen untuk membantu mereka melindungi organisasi dari kesalahan (error) dan penyalahgunaan (fraud). (Basalamah, 1995). PPA – STAN (1992) menyebutkan bahwa istilah pengendalian manajemen digunakan oleh auditor intern, sedangkan pengendalian intern digunakan oleh auditor ekstern dalam kaitannya dengan audit umum atau financial.
Menurut (Wilkinson, 2000), Pengendalian internal (control internal) Adalah suatu proses yang dijalakankan oleh manajemen, dewan komisaris, dan personalia lain dalam suatu entitas untuk mencapai tujuan yang dikategorikan sbb:
1. Menghasilkan pelaporan keuangan yang andal
2. Mencapai efesiensi dan efektivitas usaha
3. Mematuhi undang-undang dan peraturan yang berlaku
Dalam usaha mengembangkan pengertian pengendalian intern itu, lahirlah suatu grup studi dari berbagai organisasi profesi akuntansi dan audit di Amerika Serikat yaitu American Institute of Certified Public Accountants (AICPA), American Accounting Association (AAA), The Institute of Internal Auditors (IIA), Institute of Management Accountants (IMA), dan Financial Executives Institute (FEI), yang dikenal dengan COSO. Grup studi yang populer dengan nama COSO (Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Comissions) ini, pada September 1992 menyampaikan laporan dengan judul “Internal Control – Integrated Framework”.
Dalam laporan itu COSO memberikan suatu kerangka kerja pengendalian intern umum yang didesain untuk memuaskan kebutuhan semua kelompok yang berhubungan dengan pengendalian intern, yaitu manajemen entitas, auditor ekstern dan intern, manajemen keuangan, akuntan manajemen, serta pemegang otoritas (pasar modal). Tujuan pengendalian intern menjadi luas, mencakup tidak hanya untuk menjamin keandalan pelaporan keuangan, tetapi juga untuk efektivitas dan efisiensi operasi, serta kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku.
COSO mengemukakan sistem yang lebih komprehensif di mana struktur pengendalian internal ini dianggap relevan untuk mencapai tujuan organisasi baik tujuan keuangan maupun non keuangan. Sistem pengendalian internal yang dirumuskan COSO memiliki orientasi keuangan maupun non keuangan. Komponen yang ada di dalamnya meliputi lima kategori sebagai berikut: lingkungan pengendalian, pengukuran resiko, aktivitas pengendalian, informasi dan komunikasi, dan pemantauan.
Dengan adanya definisi pengendalian intern yang lebih luas dari COSO itu, maka secara fundamental terdapat titik temu antara pengendalian intern yang selama ini berkembang dalam sektor swasta, dengan pengendalian manajemen yang terutama berkembang dalam sektor publik. Menurut GAO apabila pengendalian intern itu merupakan bagian integral dari sistem yang digunakan oleh manajemen yang tidak terbatas pada aspek keuangan saja, maka pengendalian intern itu memiliki pengertian yang sama dengan pengendalian manajemen (GAO, 1990:9).
C. MASALAH POKOK AKUNTANSI PEMERINTAHAN DAN AUDITOR
Menurut Robert Klitgaard, Yayasan Obor Indonesia, 1998, Tiga masalah pokok yang dihadapi akuntan pemerintahan dan auditor adalah lingkungan pengawasan umum, risiko melekat untuk berkorupsi dan sarana pengamanan.
Dari berbagai data empirik yang diperoleh dari simpulan hasil pengawasan (apa yang dilakukan BPK, BPKP, maupun Inspektorat Jenderal) selalu mengindikasikan bahwa kesalahan, ketidaktertiban, penyimpangan, penyelewengan, dan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundangan disebabkan karena SISTEM PENGENDALIAN INTERNAL tidak berjalan.
Agak sulit mencari negara percontohan yang telah membangun sistem kendali internal terhadap korupsi. AS merupakan negara yang telah merumuskan kendali internal terhadap korupsi.
Di Amerika Serikat, konsep-konsep COSO mengenai pengendalian intern ini telah diadopsi oleh banyak organisasi swasta, dan banyak entitas pemerintahan (Tunggal, 2000:29). Demikian pula hal ini terjadi di Indonesia. Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) mengadopsi definisi pengendalian intern dari COSO, seperti dinyatakan dalam PSA No. 69 (IAI,2001:319.2), yaitu: ”Pengendalian intern adalah suatu proses – yang dijalankan oleh dewan komisaris, manajemen, dan personil lain entitas – yang didesain untuk memberikan keyakinan memadai tentang pencapaian tiga golongan tujuan berikut ini: (a) keandalan pelaporan keuangan, (b) efektivitas dan efisiensi operasi, dan (c) kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku.”
Pemerintah RI melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 59 / PMK .06 / 2005, tanggal 20 Juli 2005 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat, dengan sedikit penyesuaian dalam susunan tujuannya, juga mengadopsi definisi pengendalian intern dari COSO. Dalam Peraturan Menteri Keuangan itu, pengendalian intern didefinisikan dengan “suatu proses yang dipengaruhi oleh manajemen yang diciptakan untuk memberikan keyakinan yang memadai dalam pencapaian efektivitas, efisiensi, ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan keandalan penyajian laporan keuangan pemerintah”. Dengan demikian baik sektor swasta maupun sektor pemerintah di Indonesia, mengadopsi pengertian pengendalian intern menurut COSO.
D. KOMPONEN PENGENDALIAN INTERN
Pengendalian intern sebagaimana didefinisikan oleh COSO, terdiri atas lima komponen yang saling terkait, yaitu:
1. Lingkungan pengendalian
2. Penaksiran risiko
3. Aktivitas pengendalian
4. Informasi dan komunikasi
5. Pemantauan
I. Lingkungan Pengendalian (Control Environment)
Lingkungan pengendalian adalah tindakan, kebijakan, dan prosedur yang merefleksikan seluruh sikap top manajemen, dewan komisaris, dan pemilik entitas tentang pentingnya pengendalian dalam suatu entitas, yang mencakup :
a. Integritas dan nilai etika (integrity and ethical values);
b. Komitmen terhadap kompetensi (commitment to competence);
c. Partisipasi dewan komisaris atau komite audit (Board of Directors or Audit
Committee participation);
d. Filosofi dan gaya operasi manajemen (management’s philosophy and operating
style);
e. Struktur organisasi (organizational structure);
f. Pemberian otoritas dan tanggung jawab (assigment of authority and
responsibility);
g. Kebijakan dan praktik sumber daya manusia (human resource policies and
practices).
II. Penaksiran Risiko (Risk Assessment)
Penaksiran risiko dalam sistem pengendalian intern adalah usaha manajemen untuk mengidentifikasi dan menganalisis risiko yang relevan dalam menyiapkan laporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi keuangan.
III. Aktivitas Pengendalian (Control Activities)
Aktivitas pengendalian adalah kebijakan dan prosedur yang dibangun oleh manajemen untuk mencapai tujuan laporan keuangan yang obyektif. Aktivitas pengendalian dapat digolongkan dalam pemisahan tugas yang memadai, otorisasi yang tepat atas transaksi dan aktivitas, pendokumentasian dan pencatatan yang cukup, pengawasan aset antara catatan dan fisik, serta pemeriksaan independen atas kinerja.
Prosedur pengendalian ditetapkan untuk menstandarisasi proses kerja sehingga menjamin tercapainya tujuan perusahaan dan mencegah atau mendeteksi terjadinya ketidakberesan dan kesalahan. Prosedur pengendalian meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Personil yang kompeten, mutasi tugas dan cuti wajib.
2. Pelimpahan tanggung jawab.
3. Pemisahan tanggung jawab untuk kegiatan terkait.
4. Pemisahan fungsi akuntansi, penyimpanan aset dan operasional.
IV. Informasi dan Komunikasi (Information and Communication)
Informasi dan komunikasi dalam pengendalian intern adalah metode yang dipergunakan untuk mengidentifikasi, mengumpulkan, mengklasifikasi, mencatat dan melaporkan semua transaksi entitas, serta untuk memelihara akuntabilitas yang berhubungan dengan aset. Transaksi-transaksi harus memuaskan dalam hal eksistensi, kelengkapan, ketepatan, klasifikasi, tepat waktu, serta dalam posting dan mengikhtisarkan.
V. Pemantauan (Monitoring)
Pemantauan kegiatan pengendalian intern secara periodik harus dipantau oleh manajemen. Pemantauan meliputi penilaian atas kualitas kinerja pengendalian intern untuk menentukan apakah operasi pengendalian memerlukan modifikasi atau perbaikan.
E. FONDASI PENGENDALIAN INTERN
Kerangka pengendalian intern menurut COSO tidak hanya mempertimbangkan penilaian atas pengendalian keras (hard controls) seperti pemisahan tugas, pengawasan asset, sistem pencatatan dan pemantauan kegiatan, tetapi juga mempertimbangkan pengendalian lunak (soft controls) seperti integritas dan nilai etis, komitmen terhadap kompetensi, serta filosofi dan gaya operasi manajemen. COSO menekankan pengendalian intern kepada penyebab akar yang sistemik (systemic root causes), berfokus pada pelanggan (customer-focused), dan berorientasi pada hasil (outcome oriented).
Pengendalian intern tidak mungkin efektif melalui keempat komponen (penaksiran risiko, aktivitas pengendalian, informasi dan komunikasi serta pemantauan), tanpa lingkungan pengendalian yang efektif. Menurut COSO, lingkungan pengendalian merupakan fondasi bangunan sistem pengendalian intern. Begitu juga menurut Larry F. Konrath (dalam Auditing, Concept and Applications, a Risk Analyses Approach, 1999:208).
Seperti halnya COSO dan Konrath, Arens juga sependapat tentang lingkungan pengendalian merupakan faktor utama pengendalian intern. Menurut Arens, lingkungan pengendalian adalah payung yang memayungi keempat komponen pengendalian intern lainnya (Arrens, 1997:294).
Perumpamaan lingkungan pengendalian sebagai fondasi dari pengendalian intern oleh COSO dan Konrath, serta perumpamaan sebagai payung oleh Arens, tentunya bukan tanpa makna. Lihat saja , tentunya rumah akan cepat roboh, apabila fondasinya tidak kuat. Begitu juga perumpamaan lingkungan pengendalian intern oleh Arens. Tanpa payung tidak dapat berlindung dari terik matahari, atau dari guyuran hujan apabila terjadi perubahan cuaca.
F. PENGENDALIAN INTERN DAN KECURANGAN
Adakah hubungan pengendalian intern dengan korupsi? Hasil survai yang dilakukan oleh KPMG dalam “KPMG, 1998 Fraud Survey”, New York: KPMG,1998, sebagaimana dikutip Tunggal, 2000:103) menunjukkan, bahwa dari jawaban responden lemahnya pengendalian intern merupakan penyebab tertinggi terjadinya kecurangan (fraud). Kemudian disusul oleh manajemen yang mengabaikan pengendalian intern. Lengkapnya urutan penyebab terjadinya kecurangan berdasarkan jawaban responden sebagai berikut:
a. Lemahnya pengendalian intern;
b. Manajemen mengabaikan pengendalian intern;
c. Kolusi di antara para pegawai dan pihak ketiga;
d. Kolusi di antara para pegawai, atau manajemen;
e. Kurangnya pengendalian terhadap manajemen oleh komisaris;
f. Lemah atau tidak adanya kebijakan etika korporasi.
G. Membangun Akhlak
Hasil survei oleh KPMG itu dengan jelas menunjukkan, keterkaitan antara pengendalian intern dengan kecurangan. Menurut hasil survai lemahnya pengendalian intern merupakan penyebab utama terjadinya kecurangan. Berikutnya kecurangan terjadi karena manajemen mengabaikan pengendalian intern, dan bagaimana pun baiknya pengendalian intern, kalau terjadi kolusi, maka semua pertahanan dan pencegahan akan jebol, dan kecurangan akan tetap terjadi. Kolusi bisa terjadi di antara pegawai, di antara pimpinan, di antara pegawai dengan pimpinan, dan diantara pimpinan dan atau para pegawai dengan pihak ketiga seperti dengan para rekanan. Kecurangan adalah unsur utama perbuatan korupsi. Usaha untuk meningkatkan dan membangun system pengendalian intern, merupakan salah satu upaya dalam mencegah terjadinya kecurangan atau korupsi. Oleh karena itu, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dalam Pasal 58, dengan sangat tepat mengamanatkan kepada Presiden RI selaku Kepala Pemerintahan, agar mengatur dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintahan secara menyeluruh, untuk meningkatkan kinerja, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara.
Dalam sistem pengendalian intern selain pengendalian keras (hard controls), perlu diperhatikan pengendalian lunak (soft controls), seperti lingkungan pengendalian sebagai fondasi pengendalian intern. Sebab bagaimana pun baiknya manajemen melakukan sistem pengendalian dalam penaksiran risiko, aktivitas pengendalian, informasi dan komunikasi, serta pemantauan, namun apabila fondasi sumber daya manusianya sebagai pelaksana dari sistem itu tidak memiliki integritas, nilai etika, moral, dan akhlak, maka pengendalian intern tidak akan berfungsi dengan efektif untuk mencegah terjadinya kecurangan atau korupsi. Ibarat bangunan rumah, fondasi yang tidak kuat, akan mengakibatkan bangunan tidak kuat pula, yang pada akhirnya bangunan itu akan mudah runtuh bila diterpa angin kencang atau badai. Oleh karena itu, dalam membangun sistem pengendalian intern, sudah seharusnya memperhatikan juga pembangunan integritas, nilai etika, dan moral sumber daya manusia pelaksananya. Dengan kata lain, membangun akhlak sumber daya manusia merupakan bagian integral dalam kerangka membangun sistem pengendalian intern.
H. PENUTUP
KESIMPULAN
Pengendalian intern terdiri atas lima komponen yang saling terkait, yaitu:
1. Lingkungan pengendalian
2. Penaksiran risiko
3. Aktivitas pengendalian
4. Informasi dan komunikasi
5. Pemantauan
Agar sistem pengendalian manajemen secara internal dapat berjalan dengan baik, dan agar pelaksanaan tugas pokok dapat berjalan secara effisien, efektif, transparan sehingga dapat menghilangkan adanya kecurangan atau korupsi dapat dilakukan dengan pendekatan sebagai berikut :
PREEMPTIF
Yaitu tindakan penyadaran terhadap seluruh anggota organisasi (unsur Pimpinan/ Staf bahwa segala sesuatu tindakan yang dilakukan dapat mendorong terjadinya pelanggaran harus dihindarkan).
PREVENTIF
Yaitu segala tindakan yang diarahkan untuk mencegah sedini mungkin kemungkinan terjadinya penyelewengan/ penyimpangan dengan cara melakukan pembenahan sistem, prosedur dan tatacara untuk menutup peluang terjadinya pelanggaran tersebut.
REPRESIF
Segala tindakan yang dilakukan setelah suatu perbuatan dinyatakan telah terjadi penyelewengan/penyimpangan, sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku.
DETEKTIF
Yaitu suatu proses penguraian tentang langkah-langkah yang harus dilakukan agar apabila suatu perbuatan penyelewengan/penyimpangan sudah terlanjur terjadi, maka semaksimal mungkin penyelewengan tersebut dapat diidentifikasi dalam waktu yang sesingkat-singkatnya .
DAFTAR PUSTAKA
Mardiasmo. 2004. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Andi.
www.bpkp.go.id
www.jurnalskripsi.com
www.wikipedia.com
www.ksap.org
Rabu, 18 November 2009
Pengendalian Interen dan pemberantasan Korupsi
1Kode EtikProfesi akuntansi
0Etika secara harfiah bermakna pengetahuan tentang azas-azas akhlak atau moral. Etika secara terminologi kemudian berkembang menjadi suatu konsep yang menjelaskan tentang batasan baik atau buruk, benar atau salah, dan bisa atau tidak bisa, akan suatu hal untuk dilakukan dalam suatu pekerjaan tertentu. Istilah kode etik kemudian muncul untuk menjelaskan tentang batasan yang perlu diperhatikan oleh seorang profesional ketika menjalankan profesinya.
Seperti halnya profesi-profesi yang lain, Akuntan juga mempunyai kode etik yang digunakan sebagai rambu-rambu atau batasan-batasan ketika seorang Akuntan menjalankan perannya. Pemahaman yang cukup dari seorang Akuntan tentang kode etik, akan menciptakan pribadi Akuntan yang profesional, kompeten, dan berdaya guna. Tanpa adanya pemahaman yang cukup tentang kode etik, seorang Akuntan akan terkesan tidak elegan, bahkan akan menghilangkan nilai esensial yang paling tinggi dari profesinya tersebut.
Di awal bahasan, terlebih dahulu akan dipaparkan tentang sejarah kemunculan dimensi etik keprofesian. Sejarah ini mencakup variasi pemikiran yang berkembang tentang etika yang dimulai sejak zaman Yunani kuno hingga zaman modern seperti saat ini. Selanjutnya, pada bahasan-bahasan berikutnya akan dipaparkan dimensi-dimensi yang terkait dengan kode etik profesi Akuntan.
A. Etika : Sejarah Kemunculan dan Variasi Aliran Pemikiran.
Perkembangan wacana etika tidak dapat dilepaskan dari berbagai pemikiran atas etika yang telah berlangsung berpuluh-puluh abad yang lalu diYunani. Suseno (dalam Ludigdo, 2007) menyatakan bahwa kita harus mengakui bahwa pemikiran filsafat yang berkembang dewasa ini tidak terlepas dari kuatnya pengaruh filsafat Yunani. Filsafat Yunani yang juga meliputi metafisika dan etika ini, berkembang bermula dari filsafat alam.
Pemikiran awal tentang etika dapat ditelusuri dari pemikiran murid-murid Pytagoras (570-496 SM). Pemikiran etika yang berkembang dikalangan murid Pytagoras tersebut adalah bahwa badan merupakan kubur jiwa, sehingga jika manusia menginginkan jiwanya bebas dari badan maka dia perlu menempuh jalan pembersihan. Jalan ini adalah bertapa dan bekerja secara rohani, terutama dengan berfilsafat dan bermatematika serta menyertakan musik dan gimnastik sebagai penertib dan penyelarasnya. Bagi mereka, dalam kehidupan bersama, persahabatan dan persaudaraan semua orang merupakan nilai tertinggi. Pemikiran yang demikian kemudian disambung oleh pemikiran Democritus (460-371 SM) yang mengajarkan suatu aturan kehidupan bahwa manusia hendaknya mengusahakan keadilan. Dan masih menurut Democritus, nilai tertinggi dala kehiduoan adalah pencapaian pada apa yang enak (yang kemudian menjadi sebuah kerangka untuk berkembangnya hedonisme).
Selanjutnya Kaum Sofis (kaum bijak tapi dikenal kurang baik pada zaman Yunani klasik) berpendapat bahwa baik atau buruk lebih merupakan masalah keputusan masing-masing atau kesepakatan bersama daripada suatu aturan abadi. Hukum tidaklah abadi dan tidak pula berlaku umum, tergantung kesepakatan yang mungkin berbeda pada tempat berbeda. Sampai-sampai salah satu dari mereka Antiphon, menyatakan bahwa hukum boleh saja dilanggar dengan tenang asal tidak ada yang melihatnya. Namun pandangan ini kemudian dipatahkan oleh kalangan yang dekat dengan mereka sendiri, yaitu Socrates. Socrates (469-399 SM) membuka dan memperlihatkan bahwa pengandaian-pengandaian kaum Sofis tidak dapat diperatahankan. Untuk itu Socrates membawa manusia kepada paham etis yang lebih jelas dengan menghadapkannya pada implikasi anggapannya sendiri.
Pemikiran besar tentang etika dari era Yunani juga lahir dari Plato (427-348 SM), di mana yang sangat fenomenal darinya adalah ajarannya tentang idea. Mendasarkan pada perumpamaan sebuah setting cerita dalam gua. Plato memperlihatkan bahwa apa yang pada umumnya dianggap kebenaran masih jauh sekali dari realitas sebenarnya. Bahwa hanya kalau manusia berani keluar dari gua, ia dapat sampai pada realitas yang sesungguhnya. Gua dalam hal ini adalah penggambaran dari kegelapan dan kesempitan cara pikir manusia yang hanya terbatas pada suatu kerangka yang dapat dijangkau dengan media materi, dan itulah realitas inderawi. Menurut Plato, realitas yang sebenarnya bersifat rohani (jiwa) dan disebutnya idea ini adalah idea yang baik. Idea yang baik adalah sang baik itu sendiri, dan sang baik ini adalah tujuan dari segala yang ada. Sang baik itu menurut Plato adalah Ilahi.
Idea yang baik kemudian menuntun manusia untuk hidup secara baik. Bagaimana hidup yang baik itu dicapai ? Disinilah kemudian etika Yunani akan berbeda dengan etika-etika modern dalam menunjukkan jawaban atas bagaimana hidup yang baik itu. Dalam etika Yunani, tujuannya adalah menemukan aturan dan arahan agar kehidupan manusia dapat terasa utuh dan bulat, tidak hanya asal mempertahankan kehidupannya, tetapi juga mencapai hidup yang bernilai, berhasil, tidak percuma dan bermakna. Untuk itu hidup yang baik dicapai dengan etika kebijaksanaan, bukan etika kewajiban. Orang bijaksana tidak perlu dipaksa, karena ia akan bertindak dengan memperhatikan arahan-arahan hidup yang lebih bermutu. Orang bijaksana tentunya dapat memahami kesatuan hidupnya dengan seluruh kosmos dan realitas. Pemahaman yang demikianlah yang pada akhirnya mengantarkan orang bijaksana bersikap terbuka.
Plato juga mengemukakan bahwa orang itu baik bila dikuasai oleh akal budi, sementara orang itu buruk bila dikuasai oleh keinginan dan hawa nafsu. Atas dasar ini maka apabila seseorang mau mencapai suatu hidup yang baik, tenang, bersatu, dan bernilai, maka seseorang tersebut harus membebaskan diri dari kekuatan irrasional hawa nafsu dan emosi serta mengarahkan diri menurut akal budi.
Sementara itu pemikiran besar lainnya di era Yunani ini datang dari Aristoteles (384-322 SM). Dia dikenal sebagai pemikir pertama yang mengidentifikasikan dan mengutarakan etika secara kritis, refleksif, dan argumentatif (Suseno, dalam Ludigdo, 2007), dan juga dianngap sebagai filosof moral pertama dalam arti sebenarnya. Selain itu dia juga menjadipendiri etika sebagai ilmu atau cabang filsafat yang mandiri. Walaupun Aristoteles adalah murid Plato, ia menolak ajaran tentang idea dari gurunya tersebut. Menurut Aristoteles, ajaran Plato tentang idea merupakan interpretasi salah terhadap kenyataan bahwa manusia dapat membentuk konsep-konsep universal tentang hal yang empiris yang mana untuk menjelaskan ini tidak perlu menerima alam idea yang abadi. Dengan bertolak dari realitasnya sendiri, manusia dapat mencapai kehidupannya yang bermutu. Manusia tidak perlu melakukan kontemplasi ataupun penyatuan dengan idea yang baik sebagaimana diajarkan oleh Plato. Pendekatan Aristoteles adalah empiris, di mana ia bertolak dari realitas nyata inderawi.
Hidup yang baik bagi manusia, menurut Aristoteles, adalah apabila ia mencapai apa yang menjadi tujuannya. Dengan mencapai tujuan hidupnya, maka manusia telah mencapai dirinya dengan sepenuhya. Apapun tujuan hidup manusia adalah demi sesuatu yang baik dan bernilai, dan nilai inilah yang menjadi tujuan. Sesuatu yang bernilai adalah yang dapat mengantarkan manusia mencapai kebahagiaan. Oleh karena kebahagiaan merupakan puncak pencapaian manusia, maka tujuan akhir dari hidup manusia adalah mencapai kebahagaiaan bagi diri manusia tersebut. Pencapai kebahagiaan manusia terjadi melalui suatu tindakan. Tanpa tindakan manusia tidak mungkin berbahagia. Tindakan yang membawa pada pencapaian kebahagiaan adalah tundakan yang melibatkan bagian jiwa yang berakal budi.
Hal lain yang menarik dari pemikiran aristoteles ini adalah tiadanya pengetahuan yang pasti mengenai tindakan manusia. Tentang ini Suseno (dalam Ludigdo, 2002) menjelaskan pandangan Aristoteles tersebut :
“ Etika tidak mungkin menetapkan dengan tepat bagaimana manusia harus bertindak. Tugas etika bukan menyediakan daftar pertanyan yang dapat dilaksanakan seakan-akan dengan mata tertutup, melainkan menyediakan semacam visi dan perspektif. Orang yang memiliki perspektif itu akan menemukan bagaimana ia harus bertindak dalam situasi konkrit. Perspektif itu disebut dengan “pengertian yang tepat”. Bertindak secara etis berarti bertindak menurut pengertian yang tepat itu”
Bagaimanapun “pengertian yang tepat” bukanlah tolak ukur yang terurai, melainkan lebih merupakan sikap batin atau ketajaman akal etis untuk memahami tindakan mana yang dalam situasi tertentu paling tepat. Betapa dalam hal yang demikian pengasahan rasa dan batin menjadi suatu keharusan. Hanya karena dengan cara itulah menjadi manusia yang berpengertian dengan tepat dapat dicapai. Bertolak dari pandangan demikian, tepat pula bila pemikiran Aristoteles disebut dengan etika kebijaksanan (Suseno, dalam Ludigdo, 2007).
Sementara itu pemikiran Epikorus (314-270 SM) tentang etika berangkat dari perlawannya terhadap belenggu kebebasan manusia. Manusia, karena pandangan dunianya yang mekanistis, telah terbelenggu oleh takdir dan mitos-mitos keagamaan. Atas dasar ini kaum Epikorean bertekad untuk menyelamatkan manusia dari budak takdir, ketakutannya terhadap dewa-dewa, dan mitos-mitos keagamaan. Oleh karenanya kaum Epikorean ini dikenal juga sebagai penganut kebebasan berkehendak. Dengan kebebasannya kemudian manusia menuju kepada kebahagiaannya. Dan kebahagiaan inilah yang merupakan inti ajaran moral Epikorus. Kebahagiaan yang dimaksud adalah yang menghasilkan nikmat. Dengan demikian yang dianggap baik secara moral adalah yang menghasilkan nikmat. Pengertian nikmat di sini adalah bersifat rohani dan luhur daripada jasmani. Oleh karenanya hakikat nikmat adalah ketentraman jiwa yang tenang, yang bebas dari ketakutan dan kerisauan. Dengan demikian pengertian tentang nikmat ini berbeda dengan pengertian etika moderen sebagaimana dipahami dalam hedonisme.
Pemikiran besar terakhir dari Yunani klasik berasal dari kaum Stoa. Aliran Stoa ini dikembangkan oleh para filosof dalam rentang abad ke-3 SM sampai abad ke-3 M. Aliran filsafat ini berakar dari pandangan dunia yang monoistik, yaitu kesatuan antara materiil, ilahi, dan rasional. Dengan ini, maka yang terjadi di alam semesta berlaku determinisme mutlak, di mana segala apapun yang terjadi secara pasti dan seluruhnya berada di bawah takdir.
Di dalam pemikiran etika, ajaran stoa dapat dipahami sebagai seni hidup yang menunjukkan jalan ke kebahagiaan. Kebahagiaan ini dicapai dengan keberhasilan hidup manusia, dan hidup manusia berhasil apabila ia dapat mempertahankan diri. Dengan ini maka prinsip dasar dari etika stoa adalah penyesuaian diri dengan hukum alam. Kebebasan pun dapat dicapai jika manusia itu secara sadar dan rela menyesuaikan diri dalam hukum alam. Dengan menyesuaikan diri atau tunduk pada alam maka manusia hanya tunduk pada dirinya sendiri, dan oleh karenanya apapun yang terjadi pada dirinya adalah kehendaknya sendiri. Dalam tekad kehendak untuk melakukan kewajiban, stoa meletakkan kebahagaiaan dalam keutamaan moral. Keutamaan-keutamaan moral yang ditanamkan stoa adalah kebijaksanaan moral, keberanian, penguasaan diri, dan kemanusiaan.
Namun demikian, dewasa ini diskusi tentang etika pada tataran teoritis kebanyakan lebih merujuk pada dua pengelompokan besar, yaitu etika teleologi dan etika deontologi. Dua aliran besar ini telah menjadi mainstream dalam mencari pedoman untuk mengembangkan praktik etika. Bagaimanapun dua aliran pemikiran besar ini bertautan dengan pemikiran-pemikiran klasik di atas, walaupun di dalamnya telah tereduksi pemahaman modern yang sekuler semenjak abad pertengahan atau abad pencerahan di Eropa. Reduksi ini terutama berkaitan dengan pandangan pemikiran klasik atas dunia yang tidak terlepas dari keberadaan Tuhan. Demikian halnya kemudian dari dua kutub pemikiran tersebut berkembang dalam keragaman alira pemikiran etika berikutnya, dengan karakteristiknya.
Etika teleologi dikembangkan terutama oleh tokoh-tokoh besar pemikiran etika dari Eropa seperti Jeremy Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1873). Etika teleologi ini juga dikenal sebagai etika konsekuensialisme, dan mempunyai pandangan mendasar bahwa suatu tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan tujuan atau akibat dilakukannya tindakan tersebut. Dalam hal ini Keraf & Imam (dalam Ludigdo, 2007) memberikan sebuah contoh di mana tidak selamanya mencuri selaludinilai sebagai tindakan buruk. Baik buruknya penilaian ini tidak didasarkan atas baik buruknya tindakan itu sendiri, melainkan ditentukan oleh tujuan dan akibat dari tindakan tersebut. Dengan demikian mencuri dapat dinilai baik jika tujuan dan akibatnya adalah baik.
Oleh karena tidak mudah menilai baik buruknya tujuan atau akibat suatu tindakan dalam kerangka etika telelologi, maka muncullah varian darinya yaitu egoisme dan utilitarainisme (Keraf & Imam, dalam Ludigdo, 2007). Etika egoisme menilai baik buruknya tindakan dari tujuan dan manfaat tindakan tersebut bagi pribadi-pribadi. Landasan pemikiran ini adalah bahwa satu-satunya tujuan moral setiap pribadi adalah untuk mengejar kepentingannya dan memajukan dirinya sendiri. Pada akhirnya egosime cenderung menjadi hedonisme, di mana tindakan baik atau buruk dinilai berdasarkan kebahagiaan atau kesenangan yang diakibatkannya. Kebahagiaan dan kesenangan tersebut biasanya bersifat lahiriah dan diukur berdasarkan kebahagiaan dan kesenangan yang berupa materi. Di sinilah kemudian pemikiran materialisme menjadi berkembang.
Sementara itu utilitarianisme berkebalikan dari egoisme. Utilitarianisme berpandangan bahwa baik atau buruknya suatu tindakan seseorang didasarkan atas tujuan atau akibat bagi kebanyakan orang (Keraf & Imam, dalam Ludigdo, 2007). Bagi seorang, dia akan mendaoat kebahagiaan jika dia melakukan tindakan atas motivasi dasar untuk mengejar akibat baik yang sebesar mungkin bagi sebanyak mungkin pihak yang terlibat. Ada dua hal yang positif dari pemikiran utilitarianisme ini, yaitu menyangkut rasionalitas dan universalitasnya. Dalam hal rasionalitas, suatu tindakan dipilih dan pada gilirannya baik karena tindakan itu mendatangkan akibat baik yang lebih banyak daripada tindakan lainnya. Sedangkan universalitasnya berhubungan dengan alasan bahwa akibat atau nilai yang hendak dicapai diukur berdasarkan banyaknya orang atau pihak yang memperoleh manfaat dari suatu tindakan.
Aliran besar pemikiran etika kedua adalah deontologi. Tokoh besar aliran ini adalah Immanuel Kant (1724-1804), sehingga disebut juga sebagai Kantianisme. Selain disebut Kantianisme, aliran ini juga disebut etika non-konsekuensialisme, karena penekanannya pada kewajiban maka pemikiran ini sebagai etika kewajiban. Pandangan dasar dari pemikiran etika ini adalah bahwa penilaian baik atau buruknya suatu tindakan didasarkan pada penilaian apakah tindakan tersebut sebagai baik atau buruk. Baik atau buruknya tindakan tidak terlepas dari motivasi, kemauan baik, dan watak si pelaku. Demikian halnya tindakan baik adalah suatu kewajiban. Suatu tindakan baik dilakukan bukan saja sesuai dengan kewajiban, tetapi juga dijalankan demi kewajiban pula. Atas pandangan demikian, Keraf & Imam (dalam Ludigdo, 2007) menyebutkan bahwa Kant merumuskan tiga prinsip pandangan etiknya :
(1) Supaya suatu tindakan mempunyai nilai moral, maka tindakan itu harus dijalankan berdasarkan kewajiban, (2) nilai moral dari tindakan itu tidak tergantung pada tercapainya tujuan dari tindakan tersebut melainkan hanya tergantung pada kemauan baik yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan, dan (3) sebagai konsekuensi dari kedua prinsip tersebut, kewajiban adalah hal yang niscaya dari tindakan yang dilakukan berdasarkan hormat pada diri sendiri.
Betapun demikian kedua aliran besar dalam pemikiran etika ini masih menyisakan beberapa persoalan. Dengan teleologi, kinerja moral seseorang akan dinilai baik jika tujuan dan manfaat dari tindakan yang diambilnya baik. Dalam hal ini terdapat persoalan bagaiamana hal demikian jika berangkat dari niat yang tidak baik dan juga dilakukan dengan tidak baik. Sebaiknya dalam deontologi, kinerja moral seseorang dinilai baik jika niatnya baik dan oleh karena kewajiban untuk berbuat baik. Tetapi bagaimana jika akibat dari tindakan ini tidak baik. Persoalan-persoalan demikianlah yang pada akhirnya menghadang kesempurnaan aliran-aliran etika ini.
Di luar dua kutub aliran pemikiran besar tersebut, terdapat juga pemikiran yang berbasiskan nilai-nilai agama. Di dalam agama Nasrani terdapat tokoh-tokoh seperti Augustinus dan Thomas Aquinas. Augustinus (354-430 SM) pada jamannya dianggap membawa nuansa baru tentang pemikiran etika. Dalam pemikirannya, terdapat dimensi kesadaran akan “transendensi”. Sebuah pemikiran yang sebenarnya juga telah terdapat dalam pemikiran Plato tentang “sang baik”. Namun tidak seperti Plato yang terhenti pada pemahaman secara intelektual belaka, sebagai ketertarikan jiwa manusia kepada idea yang baik. Karena tidak puas pada pemahaman yang demikian, maka Augustinus berpendapat bahwa :
Kita hanya dapat sampai pada kepada Allah dengan dorongan hati kita, yaitu “kehendak”. Kehendak itu adalah “cinta”. Di dunia ini, kita tidak dapat melihat Allah ,tetapi kita sudah dapat mencintai-Nya (Suseno, dalam Ludigdo, 2007).
Mencermati pemikiran Augustinus di atas dapat ditarik pemahaman bahwa yang menentukan kualitas moral seseorang adalah kehendak atau cinta, bukan tindakan lahiriah atau hasil lahiriah tindakannya. Inti dari moralitas terletak dalam sikap hati (sikap batin) seseorang, bukan dalam tindakan lahiriahnya. Sikap hati yang demikian tentu tidak terlepas dari hubungan transendensi manusia dengan Tuhan. Sikap hati yang selalu mengarah kepada eksistensi Tuhan tentunya akan menuntun pada perbuatan (sikap lahiriah) yang tidak bertentangan dengan eksistensi Tuhan. Dengan landasan tersebut maka Augustinus berani mengatakan, “Cintailah, dan lakukan apa saja yang kau kehendaki”.
Menyambung dari pemahaman di atas, selanjutnya Suseno (dalam Ludigdo, 2007) juga mengemukakan tiga unsur kunci yang menyatu dari pandangan etika Augustinus. Tiga unsur kunci tersebut adalah kewajiban moral, identitas diri, dan kebahagiaan. Kewajiban moral berlangsung bukan dalam kerangka untuk mentaati peraturan, tetapi karena dorongan cinta pada Tuhan. Cinta kepada Tuhan merupakan manifestasi dari penegasan atas identitas diri yang selalu tertuju pada nilai yang paling tinggi (yaitu Tuhan). Dengan memenuhi kewajiban moral tersebut seseorang kemudian dapat mencapai kebahagiaan.
Pemikir besar Eropa selanjutnya dari kalangan Kristen adalah Thomas Aquinas (1225-1274). Meskipun kerangka dasar pemikirannya berangkat dari pemikiran Aristoteles, namun Aquinas memberikan dimensi lain tentang arti kebahagiaan sebagai tujuan hidup manusia. Menurut Aquinas, tuhan adalah tujuan akhir manusia, karena Ia adalah nilai tertinggi dan universal, dan karenanya kebahagiaan manusia tercapai bila ia memandang Tuhan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka perintah moral yang paling mendasar adalah “Lakukanlah yang baik, jangan lakukan yang buruk”. Yang baik adalah apa yang sesuai dengan tujuan akhir manusia, dan yang buruk adalah apa yang tidak sesuai. Kemampuan untuk berbuat baik dan menghindari yang buruk disebut sebagai “keutamaan”.
Sedangkan dalam Islam, secara deskriptif dan sistematis, keragaman aliran pemikiran etika dalam Islam dapat ditemukan (walaupun tidak terbatas) pada karya Fakhry (1996). Dalam karyanya ini, Fakhry mengeksplorasi pemikiran dari berbagai pemikiran kalangan Islam yang bersifat rasionalistik maupun voluntaristik, serta yang berdimensi teologis maupun religius.
Dala perspektif teologis (disebut juga etika teologis), pemikiran etika antara lain berkembang dengan penekanan pada kerangka dialektis dan metodologis untuk menentukan status logis dari proporsi etis daripada membangun teori moralitas yang substansif (Fakhry, dalam Ludigdo, 2007). Penekanan pada pembahasan teologis tentang etika ini cenderung bersifat polemik. Polemik terjadi antara kalangan Mu’tazilah yang rasionalis dan kalangan Asy’ariyah serta Hambaliyah yang determinis.
Kalangan rasioanalis berpendapat bahwa kategori moral benar dan salah dapat diketahui oleh akal dan dasar kebenarannya pun dapat dijustifikasi secara rasional. Hakekat benar dan salah dapat ditetapkan secara rasional dan terlepas dari aturan-aturan Tuhan seperti tertera dalam Al-Qur’an. Sementara itu kalangan determinis berpendapat bahwa Tuhan adalah pembuat yang sebenarnya dari setiap perbuatan dan kejadian di dunia dan karenanya pekerjaan-pekerjaan yang dilekatkan pada manusia benar-benar bersifat metafora (Fakhry, dalam Ludigdo, 2007).
Dalam perspektif religius (disebut juga etika religius), pemikiran etika cenderung melepaskan kepelikan dialektika atau metodologis dan memusatkan pada usaha untuk mengeluarkan spirit moralitas Islam dengan cara lebih langsung berakar pada Al-Qur’an dan Sunnah. Termasuk dalam etika religius ini adalah pemikiran Al-Ghazali.
Dalam diskusi ini pengetahuan dan perbuatan menjadi unsur pencapaian kebahagiaan. Sumber utama pengetahuan adalah Tuhan yang telah menganugerahkan kepada manusia melalui berbagai cara. Bagaimanapun dalam pengetahuan terdapat pemilahan pada ilmu-ilmu teoritis dan praktis. Etika sebagai pengetahuan tentang jiwa, sifat-sifat dan perilaku moralnya, menurut Al-Ghazali termasuk dalam pemilihan ilmu-ilmu teoritis. Namun Al-Ghazali juga menyebutkan bahwa etika adalah puncak ilmu praktis, sehingga penyelidikan etika harus dimulai dengan pengtahuan tentang jiwa, kekuatan-kekuatan, dan sifat-sifatnya. Pengetahuan ini merupakan prasyarat untuk membersihkan jiwa sebagaimana telah tercantum dalam Al-Qur’an dan merupakan pengenalan menuju pengetahuan tentang Tuhan. Sementara itu perbuatan diartikan sebagai mengekang nafsu jiwa, mengontrol amarah, dan menekan pertumbuhannya sehingga benar-benar tunduk terhadap akal. Disinilah letak kebahagiaan sejati manusia dan terbebas dari belenggu nafsu-nafsu.
Mencermati spektrum pemikiran etika sebagaimana pemaparan di atas, dapat membawa kita kepada suatu kerangka pemahaman yang lebih inklusif behwa etika sebagai refleksi atau pemikiran atas moralitas mempunyai dimensi yang sangat luas. Spektrum pemikiran etika yang disampaikan oleh para pemikir etika kemudian membentuk suatu gugusan-gugusan teoritik tentang etika. Mengambil simpul-simpul pemikira etika yang dapat di kedepankan adalah tentang bagaimana manusia mencapai kebahagiaan dalam hidup dan dalam menjalani kehidupannya.
B. Kode Etik dan Kode Etik Profesi Akuntan
Fenomena akan keberadaan kode etik keprofesian merupakan hal yang menarik untuk diperhatikan. Hal ini terutama jika dikaitkan dengan besarnya tuntutan publik terjadap dunia usaha yang pada umumnya mengedepankan etika dalam menjalankan akifitas bisnisnya. Tuntutan ini kemudian direspon dengan antara lain membuat kode etik atau kode perilaku. Scwhartz (dalam Ludigdo, 2007) menyebutkan kode etik sebagai dokumen formal yang tertulis dan membedakan yang terdiri dari standar moral untuk membantu mengarahkan perilaku karyawan dan organisasi. Sementara fungsinya adalah sebagai alat untuk mencapai standar etis yang tinggi dalam bisnis (kavali., dkk, dalam Ludigdo, 2007). Atau secara prinsip sebagai petunjuk atau pengingat untuk berprilaku secara terhormat dalam situasi-situasi tertentu.
Suatu rumudan kode etik seharusnya merefleksikan standar moral universal. Standar moral universal tersebut menurut Scwhartz (dalam Ludigdo, 2007) meliputi :
a. Trustworthiness (meliputi honesty, integrity, reliability, dan loyality)
b. Respect (meliputi perlindungan dan perhatian atas hak azasi manusia)
c. Responsibility (meliputi juga accountability)
d. Fairness (meliputi penghindaran dari sifat tidak memihak, dan mempromosikan persamaan)
e. Caring (meliputi misalnya penghindaran atas tindakan-tindakan yang merugikan dan tidak perlu)
f. Citizenship (meliputi penghormatan atas hukum dan perlindungan lingkungan)
Selanjutnya ada beberapa alasan mengapa kode etik perlu untuk dibuat. Beberapa alasan tersebut adalah (Adams., dkk, dalam Ludigdo, 2007) :
a. Kode etik merupakan suatu cara untuk memperbaiki iklim organisasional sehingga individu-individu daoat berperilaku secara etis.
b. Kontrol etis diperlukan karena sistem legal dan pasar tidak cukup mampu mengarahkan perilaku organisasi untuk mempertimbangkan dampak moral dalam setiap keputusan bisnisnya.
c. Perusahan memerlukan kode etik untuk menentukan status bisnis sebagai sebuah profesi, dimana kode etik merupakan salah satu penandanya.
d. Kode etik dapat juga dipandang sebagai upaya menginstitusionalisasikan moral dan nilai-nilai pendiri perusahaan, sehingga kode etik tersebut menjadi bagian dari budaya perusahaan dan membantu sosialisasi individu baru dalam memasuki budaya tersebut.
e. Kode etik merupakan sebuah pesan.
Akuntan merupakan profesi yang keberadannya sangat tergantung pada kepercayaan masyarakat. Sebagai sebuah profesi yang kinerjanya diukur dari profesionalismenya, akuntan harus memiliki keterampilan, pengetahuan, dan karakter. Penguasaan keterampilan dan pengetahuan tidaklah cukup bagi akuntan untuk menjadi profesional. Karakter diri yang dicirikan oleh ada dan tegaknya etika profesi merupakan hal penting yang harus dikuasainya pula.
Etika profesi akuntan di Indonesia dikodifikasikan dalam bentuk kode etik, yang mana struktur kode etik ini meliputi prinsip etika, aturan etika, dan interpretasi aturan etika. Struktur yang demikian itu setidaknya memberikan gambaran akan kebutuhan minimal bagi profesi akuntan untuk memberi jasa yang efektif kepada masyarakat. Terkait dengan hal tersebut Brooks (dalam Ludigdo, 2007) menyebutkan bahwa dalam suatu pedoman akuntan yang dibuat seharusnya berisi beberapa poin pokok. Beberapa poin pokok tersebut adalah :
1. Spesifikasi alasan aturan-aturan umum yang berhubungan dengan :
a. Kompetensi teknis
b. Kehati-hatian
c. Obyektifitas
d. Integritas
2. Memberikan respon :
a. Untuk berperilaku memenuhi kepentingan berbagai kelompok dalam masyarakat
b. Untuk memecahkan konflik antara berbagai pihak yang berkepentingan, dan antara pihak yang berkepentingan dan akuntan.
3. Memberikan dukungan atau perlindungan bagi akuntan yang akan “melakukan sesuatu dengan benar” (misalnya dengan kode dan laporan masalah etisnya)
4. Menspesifikasikan sanksi secara jelas hingga konsekuensi dari kesalahan akan dipahami.
Dalam kongres V Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) di Surabaya 20-30 Agustus 1986, telah berhasil disahkan butir-butir kode etik profesi akuntan. Kode etik yang dibentuk pada tahun tersebut terdiri dari tiga bagian utama, yaitu :
1. Untuk profesi akuntan secara umum
2. Khusus untuk akuntan publik, dan
3. Penutup
(Pemaparan lengkap butir-butir kode etik profesi akuntan tersebut tercantum dalam buku pedoman kode etik profesi akuntan)
Mukadimah prinsip etika profesi akuntan antara lain menyebutkan bahwa dengan seorang akuntan mempunyai kewajiban untuk menjaga disiplin diri melebihi yang disyaratkan oleh hukum dan peraturan yang berlaku. Selain itu prinsip ini meminta komitmen untuk berperilaku terhormat, bahkan dengan pengorbanan keuntungan pribadi. Sementara itu prinsip etika akuntan atau kode etik akuntan itu sendiri meliputi delapan butir pernyataan (IAI, 1998, dalam Ludigdo, 2007). Kedelapan butir pernyataan tersebut merupakan hal-hal yang seharusnya dimiliki oleh seorang akuntan. Delapan butir tersebut terdeskripsikan sebagai berikut :
1. Tanggung jawab profesi : bahwa akuntan di dalam melaksanakan tanggungjawabnya sebagai profesional harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya.
2. Kepentingan publik : akuntan sebagai anggota IAI berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepentingan publik, dan menunjukkan komitmen atas profesionalisme.
3. Integritas : akuntan sebagai seorang profesional, dalam memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya tersebut dengan menjaga integritasnya setinggi mungkin.
4. Obyektifitas : dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya, setiap akuntan sebagai anggota IAI harus menjaga obyektifitasnya dan bebas dari benturan kepentingan.
5. Kompetensi dan kehati-hatian profesional : akuntan dituntut harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan penuh kehati-hatian, kompetensi, dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesionalnya pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa profesional yang kompeten berdasarkan perkembangan praktik, legislasi, dan teknik yang paling mutakhir.
6. Kerahasiaan : akuntan harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya.
7. Perilaku profesional : akuntan sebagai seorang profesional dituntut untuk berperilaku konsisten selaras dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesinya.
8. Standar teknis : akuntan dalam menjalankan tugas profesionalnya harus mengacu dan mematuhi standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, akuntan mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektifitas.
Untuk memberikan pedoman etika yang spesifik di bidang etika profesi akuntan publik , IAI Kompartemen Akuntan Publik (IAI-KAP) telah menyusun aturan etika . dalm hal keterterapan aturan ini mengharuskan anggota IAI-KAP dan staf profesional (baik yang anggota maupun yang bukan anggota IAI-KAP) yang bekerja di suatu kantor akuntan publik untuk mematuhinya. Aturan etika ini meliputi pengaturan tentang :
1. Independensi, Integritas, dan Obyektifitas.
Aturan etika ini memberikan pedoman bagi anggota untuk mempertahankan sikap mental yang independen dalam menjalankan tugas profesionalnya. Selain itu anggota juga harus mempertahankan integritas dan obyektifitasnya dengan antara lain menghindari benturan kepentingan dalam menjalankan tugasnya.
2. Standar umum dan prinsip akuntansi
Aturan ini mengharuskan anggota untuk mematuhi berbagai standar dan interpretasinya yang ditetapkan oleh IAI, sehingga dalam hal ini disebutkan kepatuhan atas standar umum, kepatuhan terhadap standar dan prinsip-prinsip akuntansi.
3. Tanggung jawab kepada klien
Dalam bagian ini diatur tentang informasi klien yang rahasia dan fee profesional (besaran fee dan fee kontinjen)
4. Tanggung jawab kepada rekan seprofesi
Dalam hal ini anggota harus memperhatikan tanggung jawab kepada rekan seprofesi, komunikasi antar akuntan publik dan perikatan atestasi.
5. Tanggung jawab dan praktik lain
Aturan ini memberikan pedoman yang menyangkut : (a) penghindaran atas perbuatan dan perkataan yang mendiskreditkan profesi, (b) iklan, promosi, dan kegiatan pemasaran lainnya, (c) komisi dan fee referral, serta (d) bentuk organisasi dan KAP.
Daftar Pustaka :
* Sungguh, A (2004) 25 Etika Profesi. Jakarta : Sinar Grafika
* Ludigdo, U (2007) Paradoks Etika Akuntan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Senin, 09 November 2009
TIPS EFEKTIF MENGHADAPI GEMPA BUMI
0Apakah Anda merasakan hebatnya gempa bumi tempo hari? gempa berkekuatan 7,3 SR itu memang sangat mengkhawatirkan. Bagaimana tidak? gempa bumi yang terjadi pada tengah hari bolong itu berhasil membuat banyak orang panik termasuk kita sendiri. Dalam keadaan tersebut dibutuhkan pengetahuan bagi kita untuk menyelamatkan diri agar terhindar dari kemungkinan terburuk yang terjadi. Apa saja yang perlu diperhatikan dan dilakukan oleh kita ketika gempa tersebut datang kembali? Berikut beberapa tipsnya :
1. Berusahalah untuk tetap tenang.
2. Bila Anda berada di luar ruangan, segera menuju daerah terbuka yang jauh dari pohon, gedung maupun saluran listrik.
3. Jika tengah berkendaraan, segeralah menepi dan berhenti, jangan berhenti di atas jalan layang (fly over) atau aliran listrik.
4. Bila Anda berada di dalam ruangan, namun jauh dari pintu keluar, segeralah bersembunyi di bawah perabot yang dapat melindungi Anda, seperti di bawah meja, di bawah tempat tidur atau segera berdiri di sudut ruangan (secara konstruksi lebih kuat di banding dinding yang lain).
5. setelah guncangan berhenti, segera menujunke tangga darurat gedung sesuai prosedur evakuasi yang berlaku. Jangan sekalipun menggunakan lift. Karena setelah gempa terjadi, fisik bangunan dimungkinkan akan bergeser (tidak persis) dan listrik gedung biasanya akan mengalami gangguan setelah gempa.
6. Bila Anda berada dalam ruangan, namun dekat dengan pintu keluar, segeralah keluar dan jauhi gedung / rumah Anda tersebut. Carilah bidang lapang di dekat rumah Anda.
7. Apabila berada di tempat keramaian, jangan ikut berdesakan menuju pintu keluar, jauhi tempat yang menurut Anda rawan benda-benda jauh.
8. Jangan sekalipun mencoba kembali ke dalam gedung, sebelum ada pemberitahuan dari pihak berwenang. Karena gempa biasanya datang secara bersusulan.
Sumber : Majalah Berita Gas
Minggu, 08 November 2009
Manfaat Istighfar
01. Manifestasi Kepatuhan Kepada Perintah Allah
Allah SWT telah memerintahkan dan menganjurkan kepada hamba-hamba-Nya supaya beristighfar. Dia menjanjikan ampunan, pahala besar dan anugerah yang agung bagi siapa yang melaksanakannya.
2. Faktor Pembawa Rezeqi
Istighfar merupakan salah satu faktor terbesar dan terpenting untuk memperoleh rezeqi dengan karunia Allah.
3. Jalan untuk Masuk Surga
Barang siapa mengucapkan istighfar disiang hari dengan penuh keyakinan, lantas meninggal dunia pada hari itu sebelum sore, niscaya ia masuk surga. Barang siapa yang mengucapkanya dimalam hari dengan penuh keyakinan, lanta meninggal dunia sebelum pagi niscaya ia masuk surga.
4. Diampuninya Dosa dan Kesalahan
Qotadah Rohimatululloh berkata, “Al-Qur’an telah menunjukkan kepada kalian penyakit sekaligus oleh kalian. Penyakit kalian adalah dosa-dosa, sedangkan obat kalian adalah istighfar”.
5. Mencegah Terjadinya Adzab
Salah satu manfaat istighfar adalah sebagai satu sarana mencagah terjadi siksa dan adzab, sesuai dengan firman Allah SWT : “Dan Allah sekali-kali yidak akan mengadzab mereka, sedang kamu berada diantara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengadzab mereka, sedang mereka minta ampunan”. (Al-Anfal (8) : 33).
6. Meningkatkan Derajat Setelah Mati
Diriwayatkan Abu Huroiroh Rodhiyallahu’anhu, ia berkata : “Rosulullah SAW bersabda : “Sungguh Allah akan mengangkat derajat seorang hamba di surga. Maka kelak ia akan bertanya, “Ya Robbi, mengapa saya meraih derajat seperti ini?” Allah menjawab, “Karena istighfar yang dipanjatkan anakmu untukmu!”.
7. Sarana Mmperoleh Kebersiahan Hati
Diriwayatkan dari Abu Huroiroh Rodhiyallahu’anhu, ia berkata : “Sesungguhnya, apabila seorang mukrim melakukan dosa, maka dosa itu akan menjadi satu noda hitam dihatinya. Jika ia bertaubat meninggalkan dosa dan beristighfar, maka hatinya akan dibersihkan dari noda itu”.
8. Sarana untuk Memperoleh Anak
Ini merupakan kabar gembira bagi setiap orang yang berharap mempunyai anak dan keturunan yang sholih.
9. Sarana Memperoleh Kesehatan dan Kekuatan
Firman Allah, “Yumati’kum mata’an hasanan”, merupakan dalil bahwa istighfar merupakan saran bagi hambanya untuk memperoleh kenikmatan dan salah satu bentuk kenikmatan itu adalah kesehatan, keselamatan dan kekuatan.
Sumber : Dahsyatnya istighfar, Hasan bin Ahmad Hamam
Minggu, 01 November 2009
Menelisik Identifikasi DNA Teroris
0APA DNA ITU?
DNA merupakan kepanjangan dari Deoxyribo Nucleic Acid. dengan perkembangan teknologi, pemeriksaan DNA dapat digunakan untuk mengidentifikasikan dan membedakan individu yang satu dengan individu yang lain. DNA adalah materi genetik yang dapat diturunkan. Di dalam inti sel, DNA membentuk suatu kesatuan untaian yang disebut Kromosom. setiap sel manusia yang normal memiliki 46 kromosom yang terdiri dari 22 pasang kromosom somatik dan 1 pasang kromosom sex (XX dan XY).
Setiap anakmenerima setengah pasang kromosom dari ayah dan setengah pasang kromosom lainnya dari ibu sehingga setiap individu membawa sifat yang diturunkan baik dari ibu maupun ayah. Keunikan pola pewarisan DNA Mitokondria dapat digunakan sebagai penanda untuk mengidentifikasi hubungan kekerabatan secara maternal
Sebelum seseorang melakukan tes DNA, apakah perlu persiapan?
Tidak perlu, obat-obatan, makanan, umur, alkohol, atau gaya hidup tidak akan mengubah pola DNA seseorang.
Apakah ada batasan umur untuk melakukan tes DNA?
Umur tidak mempengaruhi tes DNA seseorang. Janin hingga orang yang sudah meninggal dapat dites DNA-nya.
Sampel apa saja yang akan diambil untuk tes DNA?
Hampir semua sampel biologis dapat dipakai untuk tes DNA, seperti buccal swab (usapan mulut pada pipi sebelah dalam), darah, rambut beserta akarnya, walaupun lebih dipilih pengguna darah dalam tabung sebagai sumber DNA.
Untuk apa saja tes DNA dilakukan?
Tes DNA dilakukan dengan berbagai alasan seperti persoalan pribadi dan hukum antara lain tunjangan anak, perwaalian anak, adopsi, imigrasi, warisan dan masalah forensik, seperti mengungkap identifikasi pelaku kejahatan dan terorisme.
Berapa akurasi hasil tes DNA?
Tes DNa adalah 100% akurat bila dikerjakan dengan benar
Apakah tes DNA hanya mengungkap identitas seseorang seperti pelaku bom atau kejahatan lainnya?
Tidak. Dapat juga dilakukan tes paternitas dan tes maternitas. tes paternitas adalah tes DNA untuk menentukan apakah seorang pria adalah ayah biologisnya. sedangkan tes maternitas adalah tes DNA untuk menentukan apakah seorang wanita adalah ibu biologis dari seorang anak. Umumnya tes maternitas dilakukan untuk kasus seperti tertukarnya bayi, kasus bayi tabung, kasus anak angkat, dan lain-lain.
Sumber : Majalah Bhayangkari